SUKU MINAHASA

MAKALAH
KEBUDAYAAN SUKU MINAHASA


Disusun Oleh :
Ardetha Rachnia Ardantya (10517906)

KELAS 1PA08
FAKULTAS PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
2017


KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wataala, karena berkat rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Kebudayaan Suku Minahasa. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Budaya Dasar.
Penulis menyadari bahwa sebagai suatu makalah ini masih banyak kekurangannya maka untuk itu penulis membuka diri untuk menerima saran dan kritik yang membangun guna lebih sempurnanya makalah ini.
Demikian makalah ini penulis susun. Semoga makalah ini memberikan informasi bagi pembaca dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Depok, 21 September 2017
   
  


BAB  I
PENDAHULUAN


1.1.      Latar Belakang
Masyarakat indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang memiliki keanekaragaman di dalam berbagai aspek kehidupan. Bukti nyata adanya kemajemukan di dalam masyarakat dapat dilihat melalui keragaman budaya di Indonesia. Tidak dapat kita pungkiri bahwa kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, karsa manusia yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indinesia.
Tidak ada satu masyarakat pun yang tidak memiliki kebudayaan. Begitu pula sebaliknya tidak akan ada kebudayaan tanpa adanya masyarakat sehingga kebudayaan dengan masyarakat sangatlah berkaitan.
Melihat realita bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural maka akan terlihat pula adanya berbagai suku bangsa di Indonesia. Tiap suku bangsa iniliah yang kemudian mempunyai ciri khas kebudayaan yang berbeda-beda.suku Minahasa merupakan salah satu suku bangsa yang ada di pulau Sulawesi. Sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia, suku Minahsa memiliki karakteristik yang membedakannya dengan suku lain. Keunikan karakteristik suku Minahasa ini tercermin dari kebudayaan yang mereka miliki baik dari segi agama, mata pencaharian, kesenian dan lain sebagainya.
1.2.      Rumusan Masalah
a.       Bagaimana Kebudayaan Suku Minahasa?
b.      Apa sajakah Kebudayaan Suku Minahasa?
1.3.      Tujuan
         Untuk mengetahui kebudayaan suku minahasa
1.4.      Manfaat
a.       Dapat memperluas ilmu pengetahuan tentang Kebudayaan Suku Minahasa
b.      Memberikan gambaran tentang Kebudayaan Suku Minahasa
c.       Memberikan informasi secara mendalam tentang Kebudayaan Suku Minahasa.



BAB  II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.            Definisi Kebudayaan
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
2.2.            Kebudayaan menurut para ahli     

a.      Bronislaw Malinowski

Bronislaw Malinowski menyebutkan kalau ada empat unsur pokok kebudayaan yang mencakup seperti berikut
·         System beberapa etika yang memungkinkan adanya kerja sama antara anggota masyarakat supaya sesuaikan dengan alam seputarnya.
·         Organisasi ekonomi
·         Alat serta instansi atau petugas untuk pendidikan (keluarga yaitu instansi pendidikan paling utama).
·         Organisasi kemampuan (politik)

b.      C. Kliucckhohn

Kliucckhohn mengatakan ada tujuh unsur kebudayaan, yakni system mata pencaharian hidup, system peralatan serta tehnologi, system organisasi kemasyarakatan, system pengetahuan, bahasa, kesenian, system religi serta upacara keagamaan.

c.       Herskovits

Herskovits melihat kalau kebudayaan adalah sebagai suatu hal yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain yang lalu dikatakan sebagai superorganik.

d.      Andreas Eppink

Kebudayaan mempunyai kandungan bentuk dari seluruh pengertian nilai sosial, etika sosial, ilmu dan pengetahuan dan keseluruhnya bebrapa susunan sosial, religius, dan sebagainya, dan juga semua pernyataan intelektual serta artistik sebagai ciri khas satu orang-orang.

e.       Edward Burnett Tylor

Kebudayaan adalah seluruh dari yang kompleks yang didalamnya terdapat pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, tradisi adat istiadat, serta beberapa kemampuan lain yang didapat seorang sebagai anggota orang-orang.
2.3.            Sejarah
Sejak tahun 1970-an muncul pertanyaan di kalangan masyarakat Minahasa sendiri tentang yang manakah budaya asli mereka. Orang Minahasa sendiri tidak mengetahui dengan jelas asal-usul sejarahnya, selain dari cerita mitos tentang Toar dan Lilimut. Penduduk Minahasa baik di kota maupun di desa pada umumnya tidak memperlihatkan lagi unsur-unsur budaya asli seperti dalam suku-suku bangsa lain di Indonesia. Hal ini disebabkan karena perubahan sejarah yang cepat sejak perjumpaan dengan orang-orang Eropa, khususnya pada periode pemerintahan kolonial Belanda di abad ke-19. Masuknya kebudayaan asing di Minahasa sesungguhnya telah dimulai pada abad ke-16 dengan kedatangan orang Spanyol yang kemudian digantikan oleh Belanda setelah kalah perang pada tahun 1660. Pengaruh kehadiran orang Spanyol yang bertahan hampir seabad di Minahasa masih tampak hingga saat ini, antara lain dalam aspek bahasa ada beberapa kata yang tak lain ialah bahasa Spanyol (nyora, kawayo). Selain itu, pakaian yang dianggap orang Minahasa sebagai pakaian adat (patung kurengkeng dan saraun di Tondano) tak lain adalah pakaian ala Spanyol. Bersamaan dengan masuknya bangsa Spanyol, masuk pula unsur-unsur agama Katolik yang mula-mula dibawa oleh Pater Diego de Magelhaens dan kemudian oleh misionaris lainnya. Penginjilan oleh misionaris Katolik kemudian diganti oleh para pendeta Protestan akibat peralihan kependudukan dari Spanyol ke Belanda. Tahun 1675, pendeta Montanus mengadakan penginjilan di Minahasa, diikuti oleh J.G Schwars dan J.C Riedel pada tahun 1831. Berkuasanya Belanda di Minahasa juga membawa unsur-unsur kebudayaan lain bagi penduduk Minahasa, antara lain bahasa, cara-cara berpakaian, sistem pemerintahan, sistem pengetahuan, pendidikan, kesehatan, peralatan, pengangkutan, dan sebagainya.
Proses perubahan yang dialami oleh suku bangsa Minahasa akibat kontak dengan masyarakat luar dapat dilihat juga dari beberapa nama yang diberikan bagi daerah ini. Dahulu kawasan ini disebut dengan Malesung (lesung padi), lalu Se Mahasa (mereka yang bersatu) tetapi kemudian kedua nama ini menghilang. Kini daerah ini dikenal dengan Minahasa (dipersatukan). Nama Minahasa pertama kali muncul dalam dokumen Belanda pada tahun 1789 dan lambat laun diterima sebagai nama resmi. Pernah pada tahun 1970-an muncul suatu julukan yaitu ‘Bumi Nyiur Melambai’, dan lagi pada tahun 1990-an ‘Tanah To’ar dan Limumu’ut’.











BAB III
PEMBAHASAN


3.1.            Bahasa
Dalam hidup harian, suku Minahasa biasa menggunakan bahasa Indonesia yang dipadukan dengan logat Melayu Manado atau yang disebut bahasa Melayu Manado. Bahasa ini adalah bahasa umum yang dipergunakan dalam komunikasi antar orang-orang dari sub-sub etnik Minahasa maupun dengan penduduk dari suku-suku bangsa lainnya. Di daerah perkotaan, orang memakai Melayu Manado sebagai bahasa ibu, menggantikan bahasa pribumi Minahasa. Pengaruh Melayu Manado ini juga sudah mulai terlihat di desa-desa. Generasi terakhir sudah kurang mengetahui bahasa pribumi mereka. Proses indigenisasi Melayu Manado ini berlangsung dengan pesat dan membentuk suatu ciri identitas etnik dan bagian dari sistem budaya Minahasa.
Mengenai bahasa pribumi, di Minahasa terdapat 8 bahasa sesuai dengan jumlah sub etnik suku Minahasa, yakni bahsa Tombulu, Tonsea, Tondano (Toulour), Tontemboan, Tonsawang, Pasan (Ratahan atau Bentenan), Ponosakan, dan Bantik. Ketiga yang terakhir ini dekat dengan bahasa Sangir-Talaud, sedangkan lima bahasa yang besar lainnya berasal dari satu rumpun, yaitu Proto-Minahasa. Bahasa Tontemboan kini mempunyai pengguna terbanyak, diikuti dengan bahasa Tombulu, Tondano di posisi ketiga dan kemudian Tonsea. Dahulu bahasa Tombulu dipakai dalam nyanyian, puisi, doa dan peribahasa di seluruh Minahasa, tetapi sekarang ini jumlah pemakainya sudah berkurang dan kenyataan membuktikan bahwa banyak orang Tombulu tidak lagi menggunakannya. Sebaliknya, bahasa Tonsea dan Tontemboan kini sedang naik pamor dan dipakai secara aktif dan terbuka di muka umum.
3.2.            Rumah Adat
Rumah adat Minahasa merupakan rumah panggung yang terdiri dari dua tangga didepan rumah. Menurut kepercayaan nenek moyang Minahasa peletakan tangga tersebut dimaksudkan apabila ada roh jahat yang mencoba untuk naik dari salah satu tangga maka roh jahat tersebut akan kembali turun di tangga yang sebelahnya.
 
3.3.            Pakaian Adat
Seperti daerah lain di pulau jawa, jenis busana yang dikenakan oleh kaum wanita Minahasa dan suku lain di propinsi Sumatera Utara pada masa lalu, yaitu berupa baju sejenis kebaya yang disebut dengan nama (pakaian kulit kayu). Ada pula yang mengenakan blus atau gaun pasalongan rinegetan yang terbuat dari tenunan bentenan. Sedangkan jenis pakaian yang diperuntukkan bagi kaum pria yaitu berupa baju karai. Baju karai merupakan jenis baju tanpa lengan berbentuk lurus berwarna hitam yang terbuat dari ijuk yang dipadukan dengan celana pendek atau celana panjang menyerupai bentuk celana piyama. Namun pada perkembangan selanjutnya, model dan desain pakaian adat minahasa sedikit mendapat pengaruh dari bangsa Eropa dan Cina.
Bukti dari masuknya pengaruh budaya Eropa tersebut dapat dilihat dari bentuk baju kebaya lengan panjang dengan rok bervariasi yang dikenakan oleh wanita Minahasa serta baju lengan panjang yang modelnya berubah menyerupai jas tutup dari kain blacu warna putih (baniang) yang dipadukan dengan celana panjang untuk pria. Sementara  pengaruh budaya Cina dapat dijumpai pada kebaya wanita Minahasa berwarna putih dengan kain batik bermotif burung dan bunga-bungaan. Pada busana pria pengaruh Cina tidak begitu tampak.
a.      Pakaian Adat Pria Minahasa
 Pakaian adat yang dikenakan oleh kaum pria Minahasa yaitu berupa baniang atau kemeja yang lengan panjang berkerah atau tanpa kerah yang dihiasi saku pada bagian pada bagian bawah sebelah kiri dan kanan serta bagian atas sebelah kiri kemeja. Selain itu ditambahkan pula hiasan berupa sulaman motif padi, kelapa dan ular naga pada bagian bawah lengan dan bagian depan kemeja. Pemakaian baniang ini umumnya dipadukan dengan celana hitam polos tanpa hiasan yang panjangnya sampai sebatas tumit, dengan model yang melebar pada bagian bawah makin kebawah makin lebar. Ditambahkan pula penggunaan ikat pinggang dari kulit ular patola yang berbentuk mahkota pada bagian depannya.


b.      Pakaian Adat Wanita Minahasa
Pakaian adat yang dikenakan oleh kaum wanita Minahasa pada mulanya disebut ‘ Karai Momo” ada juga yang disebut “wuyang”. Pakaian ini terdiri dari kebaya model lengan panjang berwarna putih, dengan bagian bawah berbentuk lipatan seperti ikan duyung dan agak melebar pada bagian bawah yang dihiasi dengan sulaman sujiber berbentuk bunga padi dan bunga kelapa dan pada dada sebelah kiri serta kembang kaca piring dan bunga melati yang berbau harum.






Untuk mempercantik penampilan wanita Minahasa, ditambahkan pula penggunaan sanggul atau bentuk konde, mahkota (kronci), kalung leher (kelana), kalung mutiara (simban), anting dan gelang. Dalam adat Minahasa Konde yang menggunakan 9 bunga Manduru putih disebut konde lumalundung, sedangkan Konde yang memakai 5 tangkai kembang goyang disebut konde pinkan. Semoga bermanfaat.
3.4.            Makanan
Di daerah Minahasa terdapat makanan khas yang jarang ditemui di daerah lainnya di Indonesia, seperti rintek wuuk (biasa disebut RW) atau daging anjing, daging ular, daging babi dan paniki (daging kelelawar).
a.      Tinoransak. Tinoransak merupakan makanan tradisional dengan bahan utama berupa daging babi. Cara pembuatannya yaitu daging babi, darah babi dan sayuran pendukung kemudian dimasukkan kedalam bambu kemudian dibakar seperti proses pembuatan nasi jaha.
b.      Kawok (tikus). Kawok atau tikus merupakan makanan yang cukup di gemari masyarakat Sulawesi Utara. Namun tidak semua tikus dapat diolah menjadi masakan yang memanjakan lidah. Tikus yang diolah menjadi masakah adalah tikus yang ditangkap dari hutan apa terlebih yang mempunyai ekor berwarna putih. Sebelum dimasak, tikus terlebih dahulu dibersihkan dengan cara dibakar dan dikeluarkan sebagian isi perutnya kemudian barulah diolah. Oleh wisatawan lokal maupun mancanegara, makanan khas Sulawesi Utara ini dikategorikan sebagai salah satu kuliner ekstrim
c.       Paniki (kelelawar). Paniki merupakan salah satu makanan khas Sulawesi Utara. Sebelum diolah menjadi masakan, biasanya kelelawar terlebih dahulu dibakar untuk menghilangkan bulu-bulu halusnya, kemudian dimasak dengan bumbu santan. Menyantap paniki merupakan sebuah kenikmatan yang berbeda apa terlebih saat menyantap sayapnya.
d.      RW (daging ajing). RW seolah-olah telah menjadi makanan wajib setiap kali pesta pernikahan dibuat di Sulawesi Utara terlebih di tanah Minahasa. Jenis makanan ini bahan dasarnya adalah anjing yang dimasak dengan cara khas Manado yakni dimasak bersama – sama dengan rica. Hal ini dilakuakan agar supaya ciri khasnya yang pedas akan terasa dan lebih nikmat dan enak untuk disantap.
3.5.            Ritual
a.      Monondeaga
Biasa dilakukan oleh suku Minahasa terutama yang berdiam di daerah Bolaang Mongondow. Pelaksanaan upacara adat ini sendiri untuk memperingati atau mengukuhkan seorang anak perempuan ketika memasuki masa pubertas yang ditandai dengan datangnya haid pertama. Upacara adat ini dilakukan sebagai bentuk syukur dan sekaligus semacam uwar-uwar bahwa anak gadis dari orang yang melaksanakan upacara adat ini telah menginjak masa pubertas. Agar kecantikan dan kedewasaan sang anak gadis lebih mencorong, maka dalam upacara adat ini sang gadis kecil daun telinganya ditindik dan dipasangi anting-anting layaknya gadis yang mulai bersolek, kemudian gigi diratakan (dikedawung) sebagai pelengkap kecantikan dan tanda bahwa yang bersangkutan sudah dewasa.
b.      Mupuk Im Bene
Sebenarnya upacara Mupuk Im Bene itu mirip dengan upacara syukuran selepas melaksanakan panen raya, dan memang, esensi dari ritual ini sendiri untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas segala rizki yang mereka dapat, atau yang dalam bahasa setempat disebut dengan Pallen Pactio. Prosesi dari upacara adat ini secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut: Masyarakat yang hendak melaksanakan upacara Mupuk Im Bene ini membawa sekarung padi bersama beberapa hasil bumi lainnya ke suatu tempat dimana upacara ini akan dilakanakan (biasanya di lapangan atau gereja) untuk didoakan. Kemudian selepas acara mendoakan hasil bumi ini selesai maka dilanjutkan dengan makan-makan bersama aneka jenis makanan yang sebelumnya telah disiapkan oleh ibu-ibu tiap rumah.
c.       Metipu
Metipu merupakan sebuah upacara adat dari daerah Sangihe Talaud berupa penyembahan kepada Sang Pencipta alam semesta yang disebut Benggona Langi Duatan Saluran. Prosesi dari upacara adat ini adalah membakar daun-daun dan akar-akar yang mewangi dan menimbulkan asap membumbung ke hadirat-Nya, sebagai bentuk permuliaan penduduk setempat terhadap pencipta-Nya.’
d.      Watu Pinawetengan
Upacara adat yang memang dilaksanakan untuk meneguhkan persatuan dan kesatuan anatar penduduknya. Konon berdasarkan cerita rakyat yang dipegang secara turun temurun, pada zaman dahulu terdapatlah sebuah batu besar yang disebut tumotowa yakni batu yang menjadi altar ritual sekaligus menandai berdirinya permukiman suatu komunitas. Dan konon lagi kegunaan dari batu tersebut merupakan batu tempat duduk para leluhur melakukan perundingan atau orang setempat menyebutnya Watu Rerumeran ne Empung. Batu tersebut merupakan tempat bagi para pemimpin upacara adat memberikan keputusan (dalam bentuk garis dan gambar yang dipahat pada batu) dalam hal membagi pokok pembicaraan, siapa yang harus bicara, serta cara beribadat.
Sementara inti dari upacara yang diselenggarakan di depan batu besar itu adalah wata’ esa ene yakni pernyataan tekad persatuan. Semua perwakilan kelompok etnis yang ada di Tanah Toar Lumimut mengantarkan bagian peta tanah Minahasa tempat tinggalnya dan meletakkan di bagian tengah panggung perhelatan. Diiringi musik instrumentalia kolintang, penegasan tekad itu disampaikan satu persatu perwakilan menggunakan pelbagai bahasa di Minahasa. Setelah tekad disampaikan mereka menghentakkan kaki ke tanah tiga kali. Pada penghujung acara para pelaku upacara bergandengan tangan membentuk lingkaran sembari menyanyikan Reranian: Royorz endo.
BAB IV
PENUTUP

4.1.            Kesimpulan
Dari semua pembahasan diatas yang dilator belakangi dengan asal usul suku minahasa kita dapat mengetahui beberapa budaya yang ada di Suku Minahasa mulai dari rumah adat, alat music, tarian, dll. Melalui makalah ini kita juga dapat mengetahui bahwa Suku Minahasa masih menjunjung tinggi apa yang sejak dulu sudah menjadi adat istiadat mereka dan sampai sekarang pun acara-acara adat masih dilaksanakan namun banyak oknum-oknum anak muda yang menyalah gunakan acara adat yang ada di Minahasa seperti pengucapan syukur atau biasa disebut “pengucapan” untuk pesta miras saran saya walaupun kebudayaan suku Minahasa sudah sangat lama tetapi kita harus menjunjung tinggi nilai keaslian budaya Minahasa sendiri dan kita juga harus mengambil nilai moral yang di ajarkan dalam suku Minahasa ini yaitu dari kata MAPALUS yang berarti kita harus selalu bergotong royong dalam menghadapi semua masalah.
Diharapkan dari penulisan makalah ini pembaca dapat mengambil hal-hal positif dari suku Minahasa yang sudah dijabarkan dan penulis meminta maaf apabila penjabaran diatas masih kurang jelas
4.2.         Saran
Sesuai dengan pesatnya perkembangan modern, serta masuknya kebudayaan-kebudayaan asing mengakibatkan kebudayaan tradisional suku Minahasa pun sebagian hilang. Suku Minahasa sudah tidak lagi menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang lama dan kuno sehingga meninggalkan beberapa tradisi dan mulai pada masa yang modern. Saran saya yaitu, tetaplah menjaga tradisi yang telah menjadi warisan turun-temurun dari nenek moyang kita dan berperilaku selayaknya orang suku Minahasa.





DAFTAR PUSTAKA


https://fitinline.com/article/read/2-macam-pakaian-adat-minahasa/
http://kotamanusia.wordpress.com/
http://rafansdetik.blogdetik.com/
http://manto0780.blogspot.com/
http://lindadjalil.com/
http://cindys-kitchen.blogspot.com
http://dutaonline.com/
https://allbookssharing.blogspot.co.id/2016/10/makalah-suku-minahasa-budaya-dan-adat.html



Komentar